Sepak Bola Sebagai Media Pembelajaran Nilai (Sebuah Refleksi Menjelang Kick off Copa Flobamora 2019)

Administrator | 12.56 |

Oleh : Pieter Sambut

Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Dewan Pimpinan Pusa Forum Komunikasi Masyarakat Flobamora ( DPP-FKM FLOBAMORA )

Logo FKM FLOBAMORA
Sepak bola yang dikenal sebagai olahraga yang merakyat tidak hanya sekedar media pencapaian prestasi (kemenangan). Sepak bola sesungguhnya mempunyai muatan-muatan nilai kemanusiaan (humanistic value) yang dapat membantu pembentukan kepribadian dan solidaritas sosial. Karena itu, secara substansial sepak bola dapat menjadi media pembelajaran dan internalisasi nilai-nilai yang mununjang kualitas kehidupan bersama.

Ketika orang bermain sepak bola, sebetulnya orang tidak hanya belajar teknik berlari, menendang atau mengolah si kulit bundar dan bagaimana memasukannya ke gawang lawan. Sepak bola juga tidak hanya terkait dengan strategi dan pola bermain untuk mencapai kemenangan (prestasi).
Jika hanya kemenangan yang diusung, maka lapangan sepak bola ibarat “medan perang” yang sarat dengan nafsu untuk meraih kemenangan, bahkan dengan cara-cara yang tidak sportif seperti bermain kasar atau dengan sengaja men-tackle lawan hingga terjungkal, yang pada akhirnya memancing keributan di antara pemain ataupun suporter. Prinsip fair play yang menjadi roh dari sepak bola diabaikan.

Padahal secara kontekstual, ketika orang bermain sepak bola sesungguhnya orang tengah mempelajari banyak nilai seperti kedisiplinan melalui kepatuhan terhadap jadwal berlatih dan instruksi pelatih, ketaatan terhadap peraturan-peraturan pertandingan, kerja sama tim (team work), tanggungjawab, fighting spirit (semangat juang) dan kerja keras.

Sepak bola adalah permainan kolektif. Keterampilan individu harus memberi kontribusi maksimal bagi kesuksesan tim. Dari setiap pemain dituntut pengorbanan diri untuk kepentingan tim. Pengorbanan diri yang terwujud dalam kerja sama tim membuat sepak bola ibarat sebuah okestra yang tidak saja enak dipandang mata, tetapi juga sangat menghibur penonton.
Dalam sepak bola orang juga belajar nilai sportivitas, fairplay, kejujuran, cinta kasih, toleransi dan solidaritas sosial yang merupakan nilai-nilai universal yang mampu menembus sekat-sekat perbedaan suku, bahasa, agama dan antar golongan. Itulah sebabnya sepak bola telah menjadi media pemersatu yang efektif dan sekaligus media hiburan massal yang mampu menyedot banyak penonton, entah orang tua atau anak-anak dan bahkan kaum hawa.

Copa Flobamora I 2019 yang digagas Forum Komunikasi Masyarakat (FKM) Flobamora melalui Departemen Pemuda dan Olahraga bukan even baru bagi masyarakat Flobamora diaspora, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Sejumlah even sejenis, baik berskala kabupaten seperti Ngada Cup, Wuamesu Cup, Ikamasi Cup maupun berskala regional seperti Copa Florete dan Copa NTT selalu menyisahkan persoalan klasik, yaitu bentrokan antar pemain yang melibatkan official dan bahkan para penonton. Lapangan sepak bola menjadi panggung adu jotos.
Akibat bentrokan fisik beberapa turnamen kini tinggal cerita masa lalu. Sebut saja Manggarai Cup, Copa Florete dan Copa NTT. Bukan hanya itu. Para pengelola GOR atau stadion di Jakarta menjadi alergi dengan even sepak bola orang Flores dan NTT pada umumnya. Soalnya, keributan antar pemain berimbas pada rusaknya fasilitas GOR atau stadion. Kalau saat ini Panitia Copa Flobamora 2019 agak sulit mendapatkan lapangan pertandingan, itu adalah hasil tuaian dari benih yang kita tabur selama ini.

Dari pengamatan saya terhadap sejumlah turnamen sepak bola yang diselenggarakan masyarakat Flobamora diaspora, bentrokan fisik atau perkelahian di lapangan tidak selalu bermula dari benturan fisik (body touch). Benturan fisik dalam sepak bola adalah hal biasa, apalagi yang main orang NTT.
Bentrokan fisik di lapangan saat pertandingan sebenarnya berkaitan dengan mentalitas pemain dan official. Para pemain dan official tidak mampu mengendalikan diri dan main hakim sendiri. Padahal ada wasit yang memimpin pertandingan dan ada regulasi yang sudah disosialisasi dan disepakati bersama. Panitia juga memiliki perangkat Komisi Disiplin yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pemain atau tim kesebelasan yang melanggar peraturan, mulai dari teguran tertulis hingga sanksi diskualifikasi.

Masalah mentalitas lain yang sering memicu bentrokan fisik di lapangan adalah sikap atau perilaku sejumlah pemain yang menjadikan lapangan sepak bola sebagai panggung untuk menunjukkan eksistensinya atau dalam bahasa milenial disebut caper. Mereka ingin pengakuan dari sesamanya bahwa mereka “jago.”
Sayang, penyakit pamer ke-jago-annya itu ditunjukkan di tempat yang salah, di antara sesama anak Flobamora. Seharusnya mereka pamer ke-jago-annya di tempat lain dengan mengukir prestasi yang membanggakan masyarakat Flobamora, baik di bidang akademik, sosial kemanusiaan dan prestasi-prestasi lainnya.

Sepak bola memang sarat dengan gengsi atau prestise, apalagi yang diusung adalah harga diri kabupaten atau daerah asal. Namun untuk meraih gengsi atau prestise tersebut tidak instan. Tidak juga dengan cara-cara yang mencederai persaudaraan sebagai sesama anak Flobamora. Gengsi atau prestise adalah hasil dari sebuah proses disiplin diri para pemain dalam berlatih dan membangun kerjasama tim. Sayang, kita lebih mengutamakan hasil akhir (gengsi atau prestise) daripada proses pembelajaran.

Sebagaimana dinyatakan Ketua Umum FKM Flobamora, Marsel Muja, pada acara Technical Meeting pekan lalu, bahwa turnamen Copa Flobamora lebih menekankan aspek persaudaraan daripada prestasi. Karena itu, seluruh pemain, official dan para penonton harus menjunjung
i tinggi fair play, sportivitas, solidaritas dan mampu mengendalikan diri di lapangan serta patuh pada peraturan dan kesepakatan yang telah disetujui bersama.

Turnamen Copa Flobamora diharapkan akan menciptakan babak baru solidaritas dan soliditas sosial di antara masyarakat Flobamora, baik di diaspora maupun di bumi Flobamora, serta memperkokoh persatuan nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita semua berharap, penyelenggaraan Copa Flobamora 2019 lebih berkualitas daripada even-even sejenis sebelumnya. Untuk itu seluruh pemain dan official serta para supoter harus sepakat bahwa sepak bola merupakan salah satu media yang mempersatukan kita sebagai sesama anak Flobamora.
Jika masih ada pemandangan yang tidak elok dipandang mata di lapangan, seperti bentrokan fisik/perkelahian atau perilaku yang tidak terpuji yang mencederai asas sportivitas, fair play dan persaudaraan yang saling mendukung dalam turnamen Copa Flobamora 2019, berarti kita gagal belajar tentang nilai-nilai kemanusiaan/persaudaraan dalam sepak bola. Jika demikian, turnamen Copa Flobamora 2019 mungkin saja akan senasib dengan Copa Florete dan Copa NTT yang sudah almarhum.

Semoga Copa Flobamora 2019 bisa menjadi rumah besar yang mampu memayungi seluruh masyarakat NTT diaspora dan juga menjadi tempat kita merajut persaudaraan yang saling mendukung. Dalam kebersamaan kita melangkah menuju NTT Bangkit. Bae sonde bae NTT lebe bae. Selamat bertanding! ***

Category: