Sepak Bola Sebagai Media Pembelajaran Nilai (Sebuah Refleksi Menjelang Kick off Copa Flobamora 2019)
Oleh : Pieter Sambut
Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Dewan Pimpinan Pusa Forum Komunikasi Masyarakat Flobamora ( DPP-FKM FLOBAMORA )
Logo FKM FLOBAMORA |
Sepak bola yang dikenal sebagai olahraga yang merakyat tidak hanya
sekedar media pencapaian prestasi (kemenangan). Sepak bola sesungguhnya
mempunyai muatan-muatan nilai kemanusiaan (humanistic value) yang dapat
membantu pembentukan kepribadian dan solidaritas sosial. Karena itu,
secara substansial sepak bola dapat menjadi media pembelajaran dan
internalisasi nilai-nilai yang mununjang kualitas kehidupan bersama.
Ketika orang bermain sepak bola, sebetulnya orang tidak hanya belajar
teknik berlari, menendang atau mengolah si kulit bundar dan bagaimana
memasukannya ke gawang lawan. Sepak bola juga tidak hanya terkait dengan
strategi dan pola bermain untuk mencapai kemenangan (prestasi).
Jika hanya kemenangan yang diusung, maka lapangan sepak bola ibarat
“medan perang” yang sarat dengan nafsu untuk meraih kemenangan, bahkan
dengan cara-cara yang tidak sportif seperti bermain kasar atau dengan
sengaja men-tackle lawan hingga terjungkal, yang pada akhirnya memancing
keributan di antara pemain ataupun suporter. Prinsip fair play yang
menjadi roh dari sepak bola diabaikan.
Padahal secara kontekstual, ketika orang bermain sepak bola
sesungguhnya orang tengah mempelajari banyak nilai seperti kedisiplinan
melalui kepatuhan terhadap jadwal berlatih dan instruksi pelatih,
ketaatan terhadap peraturan-peraturan pertandingan, kerja sama tim (team
work), tanggungjawab, fighting spirit (semangat juang) dan kerja keras.
Sepak bola adalah permainan kolektif. Keterampilan individu harus
memberi kontribusi maksimal bagi kesuksesan tim. Dari setiap pemain
dituntut pengorbanan diri untuk kepentingan tim. Pengorbanan diri yang
terwujud dalam kerja sama tim membuat sepak bola ibarat sebuah okestra
yang tidak saja enak dipandang mata, tetapi juga sangat menghibur
penonton.
Dalam sepak bola orang juga belajar nilai sportivitas, fairplay,
kejujuran, cinta kasih, toleransi dan solidaritas sosial yang merupakan
nilai-nilai universal yang mampu menembus sekat-sekat perbedaan suku,
bahasa, agama dan antar golongan. Itulah sebabnya sepak bola telah
menjadi media pemersatu yang efektif dan sekaligus media hiburan massal
yang mampu menyedot banyak penonton, entah orang tua atau anak-anak dan
bahkan kaum hawa.
Copa Flobamora I 2019 yang digagas Forum Komunikasi Masyarakat (FKM)
Flobamora melalui Departemen Pemuda dan Olahraga bukan even baru bagi
masyarakat Flobamora diaspora, khususnya di Jakarta dan sekitarnya.
Sejumlah even sejenis, baik berskala kabupaten seperti Ngada Cup,
Wuamesu Cup, Ikamasi Cup maupun berskala regional seperti Copa Florete
dan Copa NTT selalu menyisahkan persoalan klasik, yaitu bentrokan antar
pemain yang melibatkan official dan bahkan para penonton. Lapangan sepak
bola menjadi panggung adu jotos.
Akibat bentrokan fisik beberapa turnamen kini tinggal cerita masa
lalu. Sebut saja Manggarai Cup, Copa Florete dan Copa NTT. Bukan hanya
itu. Para pengelola GOR atau stadion di Jakarta menjadi alergi dengan
even sepak bola orang Flores dan NTT pada umumnya. Soalnya, keributan
antar pemain berimbas pada rusaknya fasilitas GOR atau stadion. Kalau
saat ini Panitia Copa Flobamora 2019 agak sulit mendapatkan lapangan
pertandingan, itu adalah hasil tuaian dari benih yang kita tabur selama
ini.
Dari pengamatan saya terhadap sejumlah turnamen sepak bola yang
diselenggarakan masyarakat Flobamora diaspora, bentrokan fisik atau
perkelahian di lapangan tidak selalu bermula dari benturan fisik (body
touch). Benturan fisik dalam sepak bola adalah hal biasa, apalagi yang
main orang NTT.
Bentrokan fisik di lapangan saat pertandingan sebenarnya berkaitan
dengan mentalitas pemain dan official. Para pemain dan official tidak
mampu mengendalikan diri dan main hakim sendiri. Padahal ada wasit yang
memimpin pertandingan dan ada regulasi yang sudah disosialisasi dan
disepakati bersama. Panitia juga memiliki perangkat Komisi Disiplin yang
berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pemain atau tim kesebelasan
yang melanggar peraturan, mulai dari teguran tertulis hingga sanksi
diskualifikasi.
Masalah mentalitas lain yang sering memicu bentrokan fisik di
lapangan adalah sikap atau perilaku sejumlah pemain yang menjadikan
lapangan sepak bola sebagai panggung untuk menunjukkan eksistensinya
atau dalam bahasa milenial disebut caper. Mereka ingin pengakuan dari
sesamanya bahwa mereka “jago.”
Sayang, penyakit pamer ke-jago-annya itu ditunjukkan di tempat yang salah, di antara sesama anak Flobamora. Seharusnya mereka pamer ke-jago-annya di tempat lain dengan mengukir prestasi yang membanggakan masyarakat Flobamora, baik di bidang akademik, sosial kemanusiaan dan prestasi-prestasi lainnya.
Sayang, penyakit pamer ke-jago-annya itu ditunjukkan di tempat yang salah, di antara sesama anak Flobamora. Seharusnya mereka pamer ke-jago-annya di tempat lain dengan mengukir prestasi yang membanggakan masyarakat Flobamora, baik di bidang akademik, sosial kemanusiaan dan prestasi-prestasi lainnya.
Sepak bola memang sarat dengan gengsi atau prestise, apalagi yang
diusung adalah harga diri kabupaten atau daerah asal. Namun untuk meraih
gengsi atau prestise tersebut tidak instan. Tidak juga dengan cara-cara
yang mencederai persaudaraan sebagai sesama anak Flobamora. Gengsi atau
prestise adalah hasil dari sebuah proses disiplin diri para pemain
dalam berlatih dan membangun kerjasama tim. Sayang, kita lebih
mengutamakan hasil akhir (gengsi atau prestise) daripada proses
pembelajaran.
Sebagaimana dinyatakan Ketua Umum FKM Flobamora, Marsel Muja, pada
acara Technical Meeting pekan lalu, bahwa turnamen Copa Flobamora lebih
menekankan aspek persaudaraan daripada prestasi. Karena itu, seluruh
pemain, official dan para penonton harus menjunjung
Turnamen Copa Flobamora diharapkan akan menciptakan babak baru
solidaritas dan soliditas sosial di antara masyarakat Flobamora, baik di
diaspora maupun di bumi Flobamora, serta memperkokoh persatuan nasional
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita semua
berharap, penyelenggaraan Copa Flobamora 2019 lebih berkualitas daripada
even-even sejenis sebelumnya. Untuk itu seluruh pemain dan official
serta para supoter harus sepakat bahwa sepak bola merupakan salah satu
media yang mempersatukan kita sebagai sesama anak Flobamora.
Jika masih ada pemandangan yang tidak elok dipandang mata di
lapangan, seperti bentrokan fisik/perkelahian atau perilaku yang tidak
terpuji yang mencederai asas sportivitas, fair play dan persaudaraan
yang saling mendukung dalam turnamen Copa Flobamora 2019, berarti kita
gagal belajar tentang nilai-nilai kemanusiaan/persaudaraan dalam sepak
bola. Jika demikian, turnamen Copa Flobamora 2019 mungkin saja akan
senasib dengan Copa Florete dan Copa NTT yang sudah almarhum.
Semoga Copa Flobamora 2019 bisa menjadi rumah besar yang mampu
memayungi seluruh masyarakat NTT diaspora dan juga menjadi tempat kita
merajut persaudaraan yang saling mendukung. Dalam kebersamaan kita
melangkah menuju NTT Bangkit. Bae sonde bae NTT lebe bae. Selamat
bertanding! ***
Anda baru saja membaca berita yang berkategori OPINI
dengan judul Sepak Bola Sebagai Media Pembelajaran Nilai (Sebuah Refleksi Menjelang Kick off Copa Flobamora 2019). Link URL: https://fkm-flobamora.blogspot.com/2019/10/sepak-bola-sebagai-media-pembelajaran.html. Terima kasih!
Category: OPINI