MENYELAMAT NTT DARI MASALAH KORUPSI
Korupsi Bawa Lari |
Korupsi
telah menjadi bencana besar bagi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dari waktu ke waktu. Tampak
bahwa setelah adanya otonomi daerah, para Pejabat Pemerintah Daerah, para
Wakil Rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD), Pimpinan
Proyek, Camat, Kepala Desa, bahkan hingga Kepala Sekolah dan Guru, tak
canggung-canggung untuk menggunakan jabatannya sebagai lahan subur untuk
melakukan praktek korupsi. Filosofi otonomi daerah yang mulanya berorientasi
untuk mendekatkan pelayanan publik dengan cara pemberian otonomi serta keluasan
bagi daerah-daerah untuk bisa mengatur dirinya termasuk dalam hal finansial,
akhirnya masih menjadi wacana karena yang terjadi di NTT adalah bahwa,
pengalihan kekuasaan kepada daerah-daerah justru lebih menjadi peluang besar
bagi banyak pihak untuk menjalankan aksi korupsi. Bahwasanya, kebijakan otonomi
daerah akhirnya terkesan hanya menjadi sarana untuk memindahkan praktek korupsi
dari pusat ke daerah. Otonomi daerah bukan sebagai kesempatan untuk
menyejahterakan rakyat, tetapi lebih sebagai arena baru untuk perampokan uang
negara yang berakibat pada pemiskinan yang lebih kejam kepada rakyat. Ia lalu
menjadi panggung bagi para koruptor untuk menunjukkan aksi mereka dalam mencuri
uang rakyat.
Berdasarkan data, selama tahun 2018, Pengadilan
Negeri Kupang menerima sebanyak 31 kasus tindak pidana korupsi dari berbagai
Kejaksaan Negeri yang ada di Propinsi NTT. Jumlah uang negara yang dirugikan
juga mencapai miliaran rupiah.
Modus yang biasa dipakai dalam praktek korupsi di
NTT yakni penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta
Dana Alokasi Umum (DAU). Hal ini dilakukan dengan cara penggelembungan dana
dalam pengadaan barang dan jasa serta pembuatan proyek-proyek fiktif di banyak
sektor. Konsekuensi, gurita korupsi akhirnya terus menjulur hingga ke
pelosok-pelosok terpencil bahkan dibiarkan hingga membunuh nasib hidup begitu
banyak masyarakat NTT. Tidak heran jika slogan bonum commune dan demokrasi lalu
hanya menjadi cerita usang yang cukup sulit digapai di NTT. Pembangunan
di banyak sektor menjadi terhambat. Masyarakat NTT yang masih miskin semakin
dipermiskin. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Perwakilan Provinsi
NTT, jumlah penduduk miskin di NTT pada Bulan Maret 2018 sebanyak 1.142.170
orang. Jumlah ini dinilai masih sangat tinggi.
Korupsi membuat masyarakat menjadi tidak merdeka
secara riil. Terkesan, bendera merah putih yang dimiliki bangsa Indonesia,
belum sepenuhnya berkibar di NTT karena masih memikul nasib begitu banyak
masyarakat NTT yang belum merdeka hidupnya.
Tragedi dan litani penderitaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) prakemerdekaan, terulang kembali di NTT. Tidak heran
pula apabila nama NTT tidak hanya dipelesetkan menjadi "Nasib Tidak Tentu,
Nelpon Tuhan Terus, Nanti Tuhan Tolong", tapi diperparah lagi menjadi
"Nusa Tempat Tangisan".
Dari data tentang maraknya praktek korupsi di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, NTT tercatat dengan angka yang cukup
buruk. Penyelesaiannya juga kerap menyisakan banyak tanda tanya. Berdasarkan
kajian yang pernah dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam
konferensi pers bertemakan: "Selamatkan NTT dari Kelaparan dan Korupsi:
Ironi Daerah Miskin Namun Tingkat Korupsinya Tinggi", nampak bahwa,
fenomena korupsi di NTT sudah mencapai tahap yang memprihatinkan. Di NTT,
praktek korupsi terkesan telah menjadi "gaya hidup" baru di kalangan
para pejabat, elite politik
dan kontraktor. Karena itu, ia telah menjadi pilar "hitam" dalam cakrawala
pembangunan di NTT. Maraknya praktek korupsi di banyak sektor diakui sebagai
sebab keterpurukan NTT. Karena itu, ICW mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum agar menelaah secara mendalam,
dugaan dan praktek korupsi yang kian bertumbuh subur, bahkan hingga menjamur
hampir di banyak sektor di NTT.
Secara faktual, maraknya praktek korupsi di NTT
akhir-akhir ini, dikarenakan oleh lemahnya etos transparansi dan akuntabilitas
dalam pengelolaan anggaran. Tampak bahwa dari pemerintah yang satu ke
pemerintah yang lain, rakyat kerap hanya dilihat sebagai obyek, bukan sebagai
partner yang turut terlibat dalam mengetahui proses pelaksanaan anggaran daerah
dalam kancah publik. Masyarakat NTT jarang bahkan tidak dilibatkan
dalam informasi menyangkut keuangan daerah baik itu melalui media massa, media
elektronik dan sebagainya guna mengontrol perkembangan penggunaan anggaran yang
ada. Padahal menurut pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2008, masyarakat juga berhak untuk mengetahui informasi tentang laporan
keuangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Fenomena ini semakin diperparah
ketika sistem pengawasan dari para Aparat Penegak Hukum kura, misalnya;
penegakan hukum perkara korupsi hanya sebatas pada tingkatan staf dan belum
menyentuh hingga ke pejabat pimpinan, agar gurita korupsi ini tidak terus memperparah
hingga membunuh nasib hidup begitu banyak masyarakat NTT, maka julurannya yang
sudah merambah di banyak sektor, perlu dibasmi. Selain melalui perlunya
kesadaran moral para pengelola anggaran, hal urgen yang mesti mendapat
perhatian yakni pentingnya pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan
anggaran di setiap sektor melalui peningkatan pelayanan informasi keuangan
publik bagi masyarakat. Tujuannya, agar dimensi transparansi dan akuntabilitas
pengelolahan anggaran dapat tercipta. Selama ini, "Nasib Tidak Tentu"
NTT, tidak teratasi secara maksimal karena segala perencanaan serta pelaksanaan
keuangan di setiap sektor tidak sesuai dengan prosedur yang transparan. Jika
hal ini diperhatikan secara serius, maka usaha pengentasan masalah korupsi di
Provinsi NTT dapat mencapai hasilnya.
Yoseph Riang
Mahasiswa Magister Ilmu
Komunikasi Pascasarjana UAJY
Anda baru saja membaca berita yang berkategori OPINI
dengan judul MENYELAMAT NTT DARI MASALAH KORUPSI. Link URL: https://fkm-flobamora.blogspot.com/2019/07/menyelamatkan-ntt-dari-masalah-korupsi.html. Terima kasih!
Category: OPINI