Pelestari Kain Tenun Ikat
Tahun 1961 merupakan masa penuh kenangan manis bagi Johanna Maria Pattinaja (73). Tahun itu sekaligus menjadi awal bagi dirinya mengoleksi kain tenun ikat tradisional Nusa Tenggara Timur. Johanna sangat mencintai salah satu aset budaya bangsa itu.
Alm. Johanna Maria Pattinaja |
Saat Tim Ekspedisi
Jejak Peradaban NTT menemui Johanna di Hotel Sao Wisata, Kabupaten Sikka, Pulau
Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu, gurat kelelahan terlihat pada
wajahnya karena baru menempuh perjalanan panjang Jakarta-Denpasar-Flores. Saat
topik pembicaraan menyinggung kain tenun NTT, Johanna langsung bersemangat,
seakan rasa lelah itu sirna.
Dia menuturkan lika-liku perjalanan mengoleksi
kain tenun sejak 49 tahun lalu itu, keprihatinan akan masa depan kerajinan
tenun ikat NTT, juga ide dan gagasan mengenai pentingnya pelestarian kerajinan
dan produk tenun ikat.
“Tahun 1961 saya pertama kali berkunjung ke
Maumere setelah menikah dengan almarhum (Frans Seda). Waktu itu, suami saya
menjabat sebagai anggota DPR-GR/MPRS. Saat masa reses suami turun ke daerah
pemilihan, saya mendapat kain tenun. Saya terheran-heran dengan gambarnya.
Dulu, yang terkenal kan batik dan songket. Saya pikir, ini kain apa? Lalu saya
mulai bertanya sana-sini soal tenun ikat,” Johanna mengenang.
Perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, ini
penasaran dengan kain tenun NTT, dan dia berupaya mencari informasi tambahan
dari buku-buku. Dengan berjalannya waktu, rasa cinta dan bangga pada tenun ikat
semakin tumbuh. Sampai sekarang, ibu dua anak ini telah
mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, baik dari Pulau Timor, Sumba,
maupun Flores. Kain koleksinya kini disimpan rapi dalam peti-peti yang memadati
lantai dua kediamannya di Jalan Metro Kencana V, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Johanna memutuskan fokus mengoleksi kain tenun
ikat NTT karena waktu itu kerajinan batik dan tenun songket sudah lebih dikenal
masyarakat.
“Kita harus bangga sebab Indonesia merupakan
salah satu negara di dunia yang mempunyai kain adat beraneka ragam, begitu pula
variasi teknik pembuatannya. Di NTT, kerajinan tenun ikat umumnya dibuat dengan
alat tenun gedok, terdiri dari benang lungsi dan pakan. Waktu benang pakan
masuk, lalu ditarik ke arah perajin, ada bunyi dok, dok,” kata Johanna.
Falsafah tenun
Johanna mengagumi kain tenun ikat NTT karena
bukan sekadar untuk penutup tubuh, melainkan juga mengandung falsafah serta
sarat akan nuansa sakral atau magis.
Johanna umumnya memperoleh kain tenun dari
pemilik yang menjual secara pribadi kepadanya. Bagi masyarakat NTT, kain tenun
pada dasarnya dibuat bukan untuk dijual, melainkan dipakai sendiri, dan yang
lebih utama untuk keperluan adat. Kain tenun baru dijual sebagai alternatif
terakhir apabila keluarga si pemilik mengalami tekanan ekonomi yang berat.
Hal itu dialami Johanna tahun 1990-an. Saat itu,
ada seorang guru di Aimere, Kabupaten Ngada, Flores, yang hendak menjual kain
tenun peninggalan leluhurnya. Kain tenun itu diperkirakan berusia lebih dari
100 tahun. Biasanya, semakin tua kain tenun, harganya makin tinggi. Apalagi
jika dibuat dengan pewarna alami.
Johanna sempat meminta keponakannya untuk
mengambil kain tersebut. Namun, sang keponakan malah bermimpi didatangi seorang
laki-laki tua berjanggut sehingga ia tak berani mengambil kain itu. Setelah
dilakukan upacara adat dengan memotong ayam, baru kain tersebut dapat diambil.
Fenomena magis juga ada pada salah satu kain
tenun perempuan Sumba yang dimilikinya. Setiap hendak dibersihkan (dikebas),
pada kain tenun itu selalu ada semacam pasir pantai yang melekat. Setelah
ditelusuri, konon kain itu merupakan kain khusus yang digunakan untuk orang
yang sudah meninggal.
“Keunikan lain, kain tenun ikat NTT mempunyai
falsafah. Seperti di Jawa, anak yang pertama kali akan menginjakkan kaki ke
tanah, ada jenis kain tersendiri untuk upacara adatnya,” ujar Johanna.
Salah satu mahar kawin di Kabupaten Flores Timur
dan Lembata adalah kain tenun. Pada adat etnik Lio Ende, kain tenun diserahkan
oleh keluarga mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki sebagai
balasan atas pemberian mahar kawin (belis).
Motif dan ragam hias kain tenun ikat juga dapat
menunjukkan perubahan sejarah suatu daerah. Misalnya, di Sumba dulu dikenal
motif alam atau binatang, seperti udang atau ular. Namun, sejak Belanda masuk
Sumba, mulai dikenal kain motif crown (mahkota). Motif itu mengacu pada mata
uang gulden Belanda yang bergambar mahkota diapit dua singa. Akhirnya di Sumba
dikenal istilah mahang (singa) meski di wilayah itu tidak ada singa. Pada masa
itu pula, pada kain tenun juga dibubuhi tenunan berupa bendera kecil berwarna
merah-putih-biru.
Pentingnya pelestarian
Johanna juga mengingatkan pentingnya pelestarian kain tenun ikat NTT agar tidak punah. “Meski suatu saat kain tenun ikat NTT hanya menjadi benda seni, perlu ada masyarakat yang menguasai teknik pembuatannya sehingga selalu ada produk tenun,” katanya.
Jangan sampai terjadi seperti di Manado, Sulawesi
Utara. Kain tenun ikat di sana tak dibuat lagi karena tidak ada lagi yang bisa
membuatnya. Ironisnya, kain tenun ikat Manado tersimpan di museum Belanda.
Johanna berpendapat, perajin tenun ikat NTT perlu
diproteksi pemerintah daerah, terutama dari ekspansi industri kain di Jawa yang
berproduksi dengan motif tenun ikat NTT. Kualitas produk Jawa lebih tipis,
halus, dan harga lebih murah dibandingkan harga kain tenun ikat alami yang bisa
mencapai lebih dari Rp 500.000 per lembar.
“Produk tenun hasil print dengan hand made harus
jelas labelnya agar tidak menjatuhkan perajin tenun ikat,” kata perempuan yang
pada periode 1957-1961 mengajar di SMA Katolik St Ursula Jakarta itu.
Johanna amat mendukung upaya pelestarian seperti
yang dilakukan oleh Himpunan Wastra Prima. Himpunan pencinta kain adat yang
didirikan tahun 1976 itu mengawali kegiatan dengan mengumpulkan 400 kain adat
dari seluruh Indonesia, termasuk kain tenun ikat NTT, kemudian disimpan di
Museum Tekstil Jakarta. Johanna sendiri menjabat sebagai ketua himpunan ini
tahun 1980-1993. e-ti
Sumber: Kompas, 13 Desember 2010 | Penulis: Samuel Oktora
Data
Singkat
Johanna Maria Pattinaja, Guru / Pelestari Kain Tenun Ikat | Wiki-tokoh | Guru,
ketua, kain, tenun ikat
Anda baru saja membaca berita yang berkategori TOKOH NTT
dengan judul Pelestari Kain Tenun Ikat. Link URL: https://fkm-flobamora.blogspot.com/2019/07/pelestari-kain-tenun-ikat.html. Terima kasih!
Category: TOKOH NTT