“MAKNA SIMBOLIK DIBALIK PERTEMUAN JOKOWI-PRABOWO”
“MAKNA
SIMBOLIK DIBALIK PERTEMUAN
JOKOWI-PRABOWO”
JOKOWI-PRABOWO”
Sonny
Y. Soeharso
Anggota Perhimpunan Amerta Pancasila
Anggota Perhimpunan Amerta Pancasila
Pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT |
“Tidak
ada lagi 01, tidak ada lagi 02. Tidak ada lagi Cebong, tidak ada lagi Kampret
yang ada adalah Garuda Pancasila, dan Merah Putih” demikian inti ucapan bijak kedua tokoh yang berkompetisi dalam
ajang Pilpres 2019 yang lalu saat bertemu di stasiun MRT Jakarta, Sabtu 13 Juli
2019. Sebuah statement yang mengandung makna sekaligus harapan kepada
kita semua untuk segera menghentikan perseteruan emosional dan psikologis “ingroup-outgroup”
yang masih terasa residunya di masyarakat hingga saat ini. Dengan pernyataan
itu, maka para pendukung setia dan para
loyalis (die
hard) masing-masing kubu di tingkat grass root untuk segera
melakukan hal yang sama dengan apa kedua tokoh lakukan hari ini
Pertemuan
kedua tokoh nasional yang juga tokoh politik tersebut sama-sama menyatakan
mereka adalah dua sahabat, dua kawan dan ini yang terpenting mereka adalah sesama
saudara sebangsa dan setanah air. Masih banyak persoalan kenegaraan dan
kebangsaan yang akan dihadapi oleh Presiden terpilih Jokowi untuk lima (5)
tahun ke depan pemerintahannya bersama wapres
terpilih KH Maaruf Amin. Sehingga apabila energi seluruh komponen bangsa
“hanya” digunakan untuk perseteruan emosional atas sesuatu proses siklus
politik yang sudah paripurna, rasanya itu tidak akan membawa kemajuan, dan kemakmuran serta kebahagiaan bahkan kontra produktif bagi seluruh kekuatan masyarakat dan negara Indonesia.
Kesadaran
atas pentingnya dan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan politik
praktis kedua tokoh nasional itu layak diacungi dua jempol. Salut dan Bravo
kepada Pak Jokowi dan Pak Prabowo, Anda berdua tidak saja tokoh politik tapi
juga negarawan (stateman) karena menempatkan kepentingan negara dan
bangsa di
atas kepentingan politik dan egoisme pribadi. Peristiwa bersejarah yang menunjukkan kematangan bangsa
dan negara Indonesia dalam berdemokrasi telah anda berdua tunjukkan di hadapan
dunia. Pertemuan yang menggambarkan “kita masih seperti yang dulu”, meski
berkompetisi tapi tetap bersahabat, dan kompak sebagai anak bangsa yang peduli
dengan kesejahteraan rakyat dan NKRI. Yang paling esensial adalah “tidak ada
yang bisa memisahkan kita” apalagi oleh anasir-anasir yang anti Pancasila dan
anti Merah Putih. Itulah mana dan kesan mendalam serta sangat penting yang bisa saya tangkap.
Sejarah
membuktikan ketika suatu bangsa terpecah-belah dan secara sengaja “dilemahkan” maka
akan ada pihak ketiga (dengan menanfaatkan anasir luar dan dalam negeri) yang
akan memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan negara mereka. Jika ini terjadi
maka baik secara politik, ekonomi, sosial budaya dan ideologi Indonesia menjadi
lemah, tingkat ketergantungan kepada negara lain tinggi, dan kita akan menjadi
negara yang tidak berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan tidak
berkepribadian secara sosial budaya. Yang lebih gawat adalah secara Ideologis
kita akan semakin dilemahkan sehingga intervensi ideologi-ideologi asing yang
tidak sejalan dengan Pancasila akan dengan leluasa merambah dan merangsuk ke
semua eleman bangsa. Ideologi-ideologi asing itu tidak saja berasal dari barat,
timur, timur tengah, timur utara tetapi juga ideologi “laten” yang sudah
dinyatakan terlarang oleh pemerintah dan negara ini.
Dari
pantauan media sosial dan media mainstream,
tampaknya pernyataan kedua tokoh bangsa ini cenderung mendapat respon positif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia
dan dunia. Mereka merasakan adanya kesejukan, kedamaian, keceriaan dan
munculnya harapan hidup lebih baik karena adanya semangat persatuan dan
kesatuan kembali diantara anak bangsa yang telah terbelah akibat kontestasi
politik pilpres 2019 yang lalu. Presiden Jokowi mengharapkan juga para
pendukung kedua belah pihak melakukan hal yang sama dengan apa yang telah
mereka lakukan hari ini.
Tidak ada sebutan cebong atau kampret lagi mulai kemarin.
Atas
pernyataan kedua tokoh nasional di atas yang sama-sama mencintai negeri ini,
meyakini Garuda Pancasila dan sang saka Merah Putih maka pertemuan bersejarah
kedua tokoh nasional ini layak disebut “Pertemuan Garuda Pancasila” atau
“Pertemuan Merah Putih”. Pernyataan yang
merefleksikan secara simbolik bahwa demi NKRI dan
Merah Putih mereka secara sadar, dan committed mendahulukan kepentingan nasional
dengan menekan ego masing-masing.
Kedua
tokoh nasional itu juga telah memberikan keteladanan “kerendahan hati” para
pemimpin bangsa. Pak Jokowi sebagai Presiden petahana dan Presiden terpilih
dengan “rendah hati” mau menemui rival-nya Pak Prabowo di ruang publik, di
stasiun dan di gerbong moda transporatsi masal kebangaan Indonesia, MRT
Jakarta. Disisi yang sama Pak Prabowo bersedia bertemu dengan Pak Jokowi di MRT
secara sadar dan “rendah hati” memang belum pernah menggunakan jasa MRT selama
ini. Tanpa malu dan gengsi Pak Prabowo mengakui belum pernah naik MRT dan
bersedia menerima tawaran Pak Jokowi untuk bersepakat bertemu di stasiun MRT.
Sungguh suatu sikap ksatria dan jujur ditunjukkan oleh kedua beliau yang patut dicontoh oleh
para pendukung masing-masing.
Makna Simbolik
)
MRT
MRT
kepanjangan dari Mass Rapid Transportation melambangkan kemajuan dan
kecepatan untuk meraih cita-cita kemerdekaan yaitu mewujudkan masyarakat yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Untuk meraih kemajuan dan
mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu tidak bisa dicapai dengan cara “alon-alon
asal kelakon”, lelet dan lamban tetapi hanya dengan kecepatan tinggi kita akan
meraih kemenangan, dan kemajuan terutama di era revolusi industri 4.0 dan digital
economy saat ini.
Stasiun
dan gerbong MRT melambangkan kedua tokoh ingin memberikan teladan kepada kita
semua bahwasannya bila kita memiliki niat baik, tulus dan ikhlas untuk bersama-sama membangun bangsa ini maka
tidak ada lagi hal-hal yang perlu ditutup-tutupi, semua untuk satu, satu untuk semua demikian kata Bung
Karno.
Semua hal yang menjadi ganjalan harus diungkapkan secara transparan, terbuka dan diketahui publik terlebih ini
menyangkut kepentingan nasional. MRT adalah moda transportasi rakyat maka demi
kepentingan rakyat dan bangsa tak perlu ada lagi yang disembunyikan kepada
rakyat.
2)
Tanggal 13 Juli
Angka
13 yang selama ini memiliki “mitos” angka sial dengan istilah “cilaka tiga
belas” telah dipupuskan dan digugurkan oleh kedua tokoh nasional hari ini.
Tanggal 13 bukanlah hari “buruk” atau hari yang penuh “kesialan” tetapi
sebaliknya hari bersejarah, penuh arti dan makna serta hari pengharapan yang
optimistik untuk kemajuan bangsa dan negara ini. Tanggal 13 bukanlah hari yang
harus dihindari dan dijauhi tetapi dihadapi dan dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Tanggal 13 juga melambangkan juga bahwa kita diajak untuk
berpikir rasional dan objektif tidak percaya mitos, hoax dan segala isu
yang bersifat irrasional yang justru sering dipakai oleh pihak-pihak tertentu yang
tidak menghendaki negara kita kuat, bersatu, makmur, maju dan menang dalam
berbagai kompetisi global.
Tingkat
pendidikan masyarakat kita yang masih tergolong rendah (rata-rata kelas 7/8
SMP) seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan menebar
ketakutan dan kebencian kepada kelompok lain melalui berita-berita bohong dan simbol-simbol
etnoreligiustik untuk memasukkan berbagai kepentingan yang menguntungkan pihak
tertentu.
3)
Ucapan Selamat Langsung
Setelah
kedua tokoh bertemu, berbincang di dalam gerbong MRT, memberikan
pernyataan-pernyataan di hadapan puluhan wartawan media cetak dan on-line
yang dilakukan secara relaks dan santai, Pak Prabowo dengan rendah hati dan
ksatria memberikan ucapan selamat langsung dan selamat bekerja kepada Pak
Jokowi sebagai presiden terpilih periode 2019-2024. Adanya pertanyaan kepada
Pak Prabowo belum mengucapkan selamat kepada Pak Jokowi, dijawab Pak Probowo,
bahwa saya itu punya tatakrama, “ewuh pakewuh” suatu ekspresi sikap rasa
dan emosi dalam budaya
Jawa untuk menghormati orang yang lebih “tinggi” kedudukannya atau ada jarak
psikologis, sehingga tak elok bila dikemukakan didepan publik tanpa berhadapan
langsung dengan Pak Jokowi.
Ucapan
selamat secara langsung di hadapan publik merupakan simbol ksatria dan gentlemen
dilakukan seorang pemimpin walaupun beliau “kalah” dalam kontestasi politik
untuk kedua kalinya. Disisi yang sama, sikap yang ditunjukkan Pak Jokowi sangat
jauh dari sikap “jumawa”, “sombong” atau “arogan”. Dengan kerendahan hati Pak
Jokowi hanya mengangguk, tersenyum dan menerima jabat tangan Pak Prabowo dengan
santai dan sikap sewajarnya. Sungguh sebuah ekspresi perilaku yang kstaria dan genuine
yang ditunjukkan oleh kedua beliau.
4)
Simbol Pewayangan
Setelah
melakukan konperensi pers yang ringan dan relaks, kedua tokoh menuju sebuah
restoran di sebuah mal di kawasan
Senayan
Jakarta Selatan untuk menunaikan makan siang bersama. Sekilas tampak restoran
itu bukanlah sebuah restoran yang mewah dan mahal tetapi yang menarik adalah
kedua beliau duduk makan dibawah sebuah backdrop
atau lukisan yang bergambar tokoh-tokoh pewayangan dengan ditengah tampak
berdiri “gunungan”.
Wayang
merupakan salah satu kesenian tradisi Nusantara yang sampai sekarang masih
menghiruphembuskan nafas kehidupannya, terutama di wilayah Bali, Sunda, dan
Jawa. Khususnya di Jawa, seni wayang memiliki berbagai genre, antara lain:
wayang golek (wayang tengul), wayang beber, wayang wong, wayang klitik, dan
wayang kulit. Berdasarkan ceritanya, wayang kulit masih dibagi menjadi beberapa
jenis, antara lain: wayang kancil, wayang wahyu, wayang purwa, dll.
4.a.)
Gunungan
Pada
masyarakat Jawa, khususnya dalam wayang kulit selalu terdapat simbol
“gunungan”. Gunungan merupakan simbol kehidupan, jadi setiap gambar yang berada
di dalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia
sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Dalam setiap pergelaran wayang kulit selalu
ditampilkan gunungan, yang berbentuk persegi lima yang terdapat gambar atau
simbol di dalamnya. Gunungan ini biasanya ditampilkan dalam berbagai permainan
wayang misalnya dalam wayang purwa, wayang gedog, wayang krucil, wayang golek,
wayang suluh dan sebagainya.
Gunungan
merupakan simbol kehidupan makhluk semesta, jadi setiap gambar yang berada di
dalamnya melambangkan seluruh jagad alam raya beserta isinya mulai dari manusia
sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Gunungan dilihat dari segi
bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima (dapat diartikan sebagai lima
waktu yang harus dilakukan oleh pemeluk agama Islam atau Lima Sila yang harus
dipedomani oleh seluruh Warga Negara Indonesia). Adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu
melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah, Tuhan
Yang Maha Esa.
Disebut
gunungan karena bentuknya seperti gunung yang ujung atasnya meruncing. Gunungan
ini dalam legendanya berisi mitos sangkan paraning dumadi, yaitu asal mulanya
kehidupan ini dan disebut juga kayon. Kata kayon melambangkan semua kehidupan
yang terdapat di dalam jagad raya yang mengalami tiga tingkatan yakni: 1) Tanam
tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan, yang orang mengartikan pohon
Kalpataru, yang mempunyai makna pohon hidup. 2) Lukisan hewan yang terdapat di
dalam gunungan ini menggambarkan hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa. 3) Kehidupan
manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu gapura pada kayon, sekarang hanya
dalam prolog dalang saja. Kayon atau gunungan yang biasanya diletakkan di tengah
kadang, disamping itu mempunyai beberapa
arti, arti dari diletakkannya gunungan ada 3 yakni: pertama, dipergunakan dalam
pembukaan dan penutupan, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada
pentas sandiwara. Kedua, sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).
Ketiga, digunakan untuk menggambarkan
pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek
tertentu (menghilang/berubah bentuk).
Dalam
kayon terdapat ukiran-ukiran atau gambar yang diantaranya :
Rumah
atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga melambangkan suatu rumah
atau negara yang di dalamnya ada kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia.
Dua
raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng,
diinterprestasikan bahwa gambar tersebut melambangkan penjaga alam gelap dan
terang. Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon. Gambar
hutan belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya. Gambar
ilu-ilu Banaspati melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan,
tantangan dan mara bahaya yang setiap saat akan mengancam keselamatan manusia.
Pohon
besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan. Dua
kepala makara ditengah pohon melambangkan manusia dalam kehidupan sehari
mempunyai sifat yang rakus, jahat seperti setan. Dua ekor kera dan lutung
sedang bermain diatas pohon dan dua ekor ayam hutan sedang bertengkar di atas
pohon, macan berhadapan dengan banteng.
Hewan-hewan
tersebut menggambarkan tingkah laku manusia yakni,
Kebo
= pemalas, Monyet = serakah, Ular = licik, Banteng = lambang roh , anasir tanah
, dengan sifat kekuatan nafsu aluamah, Harimau = lambang roh , anasir api
dengan sifat kekuatan nafsu amarah, emosional, pemarah, Naga = lambang Roh ,
anasir air dengan sifat kekuatan nafsu sufiah, Burung Garuda = lambang Roh ,
anasir udara dengan sifat kekuatan nafsu Muthmainah.
Gambar
raksasa digunakan sebagai lambang kawah condrodimuka, adapun bila dihubungkan
dengan kehidupan manusia di dunia sebagai lambang atau pesan terhadap kaum yang
berbuat dosa akan di masukkan ke dalam neraka yang penuh siksaan.
Gambar
samudra dalam gunungan pada wayang kulit melambangkan pikiran, Gambar api
merupakan simbol kebutuhan manusia yang mendasar karena dalam kehidupan
sehari-hari akan membutuhkannya. 7 anak tangga: berarti tujuan atau PITUtur
(pemberitahuan) bahwa kita semua yang bernama hidup pasti mati ” kullu nasi dha
ikhotul maut “. Gerbang/pintu selo manangkep: pintu alam kubur yang kita tuju. Pohon
hayat: jalan hidup seseorang yang lurus dan mempunyai 4 anak cabang yang
menjadi perlambang nafsu kita dan banyak anak cabangnya.
Sedangkan
dari filosofi bentuk adalah : bentuk gunungan sendiri menyerupai serambi bilik
kiri yang ada di dalam tubuh kita, itu mungkin mempunyai makna kalau kita harus
menjaga apapun yang ada di dalam hati kita hanya kepada sang pencipta. Dan yang
lebih hebat lagi adalah dari segi bentuk yang persisi dengan “mustoko” di atas
masjid yang ada banyak di negara kita. itu perlambang dari sipembuat untuk kita
supaya menjaga hati kita secar lurus (seperti pohon) kepada masjid/agama/tuhan.
Gunungan
bisa diartikan lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma, sedang bentuknya yang
segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsur cipta, rasa dan
karsa. Sedangkan lambang gambar segi empat lambing sedulur papat dari anasir
tanah, api , air, udara.
Gunungan
atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang, menurut kepercayaan hindu,
secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang,
menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan
terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha
Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-setan), Bani (Brahma-api), Banyu
(air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).
Makara
yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma
mula, yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang
terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat)
kehidupan dari Sang hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup.
Berkumpulnya
Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu
sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan
dengan tanah di bawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap
gapura yang menggambarkan air berombak.
Dari
kelima zat tersebut bercampur menjadi satu dan terwujudlah badan kasar manusia
yang terdiri dari Bani, Banyu, Bayu, dan Bantala, sedang Banu merupakan zat
makanan utamanya.
Dalam
seni pewayangan ada banyak sekali kisah yang disajikan. Para penikmat seni
pertunjukan wayang pasti tidak asing dengan kisah-kisah yang diambil dari karya
sartra kuno, mulai dari Ramayanan sampai Mahabarata. Bukan hanya itu, setiap
pagelaran wayang pasti juga ada pesan yang hendak disampaikan oleh seorang
dalang. Begitu juga dengan empat tokoh pewayangan yang dikemas menjadi
punakawan.
Istilah
punakawan berasal dari kata pana yang artinya paham, dan kawan yang artinya
teman. Jika mencari tokoh Punakawan di naskah Mahabharata dan Ramayana, jangan
heran jika tokoh Punakawan tidak ada di sana. Punakawan merupakan tokoh
pewayangan yang diciptakan oleh seorang pujangga Jawa. Menurut Slamet Muljana,
seorang sejarawan, tokoh Punakawan pertama kali muncul dalam karya sastra
Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri.
Empat
tokoh punakawan terdiri dari Semar dan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk,
dan Bagong. Para Punakawan ditampilkan sebagai kelompok penceria dengan
humor-humor khasnya untuk mencairkan suasana. Selain itu, Punakawan juga
memiliki karakter masing-masing yang tentunya patut untuk diselami lebih dalam.
4.b)
Semar
Salah
satu tokoh yang selalu ada di Punakawan ini, dikisahkan sebagai abdi tokoh
utama cerita Sahadewa dari keluarga Pandawa. Bukan hanya sebagai abdi, namun
Semar juga kerap kali memberikan nasihat-nasihat bijaksananya untuk keluarga
Pandawa. Semar digambarkan sebagai tokoh yang sabar dan bijaksana. Kepala dan
pandangan Semar menghadap ke atas, menggambarkan kehidupan manusia agar selalu
mengingat Sang Kuasa. Kain yang dipakai sebagai baju oleh Semar, yakni kain
Semar Parangkusumorojo merupakan perwujudan agar memayuhayuning banowo atau
menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi. Di kalangan spiritual Jawa, Semar
dianggap sebagai simbol ke-Esaan.
4.c)
Gareng
Dalam
cerita pewayangan Jawa, diceritakan Nala Gareng adalah anak Gandarwa (sebangsa
jin) yang diangkat anak oleh Semar. Pancalparnor adalah nama lain Gareng yang
artinya menolak godaan duniawi. Gareng memiliki kaki pincang, hal ini mengajarkan
agar selalu barhati-hati dalam bertindak. Dalam suatu cerita, Gareng dulunya
adalah seorang raja, namun karena ia sombong, ia menantang setiap ksatria yang
ia temui dan dalam suatu pertarungan, mereka seimbang.
Tidak
ada yang menang maupun kalah, namun dari pertarungan itu. Wajah Gareng yang
awalnya rupawan menjadi buruk rupa. Gareng memiliki perawakan yang pendek dan
selalu menunduk, hal ini menandakan kehati-hatian, meskipun sudah makmur,
tetapi harus tetap waspada. Matanya juling yang menandakan ia tidak mau melihat
hal-hal yang mengundang kejahatan. Tangannya melengkung, hal ini menggambarkan
untuk tidak merampas hak orang lain.
4.d)
Petruk
Petruk
digambarkan sebagai sosok yang gemar bercanda, baik melalui ucapan ataupun
tingkah laku. Ia adalah anak ke dua yang diangkat oleh Semar. Nama lainnya
yakni Kanthong Bolong, yang artinya suka berdema. Sebagai punakawan, ia adalah
sosok yang bisa mengasuh, merahasiakan masalah, pendengar yang baik, dan selalu
membawa manfaat bagi orang lain.
Dalam
suatu cerita, saat pembangunan candi Sapta Arga, kerajaan ditinggalkan dalam
keadaan kosong. Kemudian jimat Kalimasada milik pandawa pun hilang. Jimat itu
dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu, Bambang Irawan – anak Arjuna –
bersama Petruk berusaha merebut jimat tersebut. Akhirnya jimat itu berhasil
direbut oleh Bambang Irawan dan dititipkan kepada Petruk. Namun sayangnya
Petruk menghilangkan jimat tersebut. Untungnya jimat itu dapat ditemukan
kembali, kemudian ia meminta maaf pada Pandawa. Melalui kisah itu, Petruk ingin
mengingatkan untuk memperhitungkan setiap tata kelakuan dan tidak mudah percaya
kepada siapapun. Kemudian ia juga mengajarkan untuk berani mengakui kesalahan.
4.e)
Bagong
Bagong
adalah anak ke tiga yang diangkat oleh Semar. Diceritakan, Bagong adalah
manusia yang muncul dari bayangan. Suatu ketika, Gareng dan Petruk minta
dicarika teman oleh Semar, kemudian Sang Hyang Tunggal berkata “Ketahuilah
bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri” seketika, sosok Bagong muncul dari
bayangan.
Sosok
Bagong digambarkan berbadan pendek, gemuk, tetapi mata dan mulutnya lebar, yang
menggambarkan sifatnya yang lancang namun jujur dan sakti. Ia kerap kali
melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Dari sikap Baagong yang tergesa-gesa
itu, justru mengajarkan untuk selalu memperhitungkan apa yang hendak dilakukan,
agar tidak seperti Bagong. Tokoh pewayangan satu ini juga mengingatkan bahwa
manusia di dunia memiliki berbagai watak dan perilaku. Tidak semuanya baik,
sehingga setiap orang harus bisa memahami watak orang lain, toleran, dan
bermasyarakat dengan baik.
Orang
Jawa memang menyimpan berbagai macam budaya yang beragam dan menyimpan berbagai
makna yang terkandung dalam setiap itemnya, bahkan secara tidak kita sadari sesuatu yang kita pegang
sekarangpun itu juga mengandung makna filosofis yang sangat besar jika kita mau
mangkaji lebih dalam.
Dengan
gambaran di atas saya sedikit banyak mengetahui tantang apa makna filosofis
dari gunungan yang terdapat dalam pewayangan. Dari segi bentuk maupun nilai
yang terkandung dalam wayang dan dari gambar yang ada di dalamnya. Kapan dan
siapa yang menciptakan gunungan tersebut, fungsi dari gunungan dalam permainan
wayang.
Demi
Negara Kesatuan Republik Indonesia mari kita lestarikan kebudayaan yang ada di
Indonesia. Jangan ada lagi kekerasan dalam mengatasi masalah, kita sebagai
Bangsa yang berbudi luhur seharusnya dapat menjadi contoh bagi Negara lain.
Kalau bukan kita sebagai anak bangsa siapa lagi? Semua yang ada di Indonesia
kita wajib mencintainya. Negara yang kaya akan budaya, orang-orang yang ramah,
menjunjung tinggi nilai kebersamaan, lingkungan yang asri, sejuk, indah yang
tentunya tak kalah dengan alam yang ada di negeri orang.
Dari
uraian di atas, bagi saya pribadi mempelajari ilmu filsafat khususnya Jawa mampu
membuat kita lebih bijak dalam memandang segala sesuatu yang ada di dunia ini
tanpa melepaskan kaidah-kaidah keagamaan yang ada untuk menjadi orang yang
lebih arif dalam memaknai dan menjalani hidup ini. Selain itu setelah belajar
filsafat, Kita menjadi tahu bahwasanya segala sesuatu yang ada di dunia ini
akan selalu berhubungan meskipun dalam wujud yang berbeda akan tetapi
kesemuanya itu jika kita mau menggali lebih dalam maka semuanya akan kembali
pada satu sumber yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekuasaan didunia hanyalah
sementara dan tidak akan dibawa disaat kita mati, justru sebaliknya kita akan
dimintai pertanggungjawaban atas kekuasaan yang telah dipercayakan kepada kita
selama di dunia. Selamat bekerja Pak Jokowi, dan Selamat berjuang dan berkontribusi
untuk kemajuan nusa dan bangsa kepada Pak Prabowo. Amin.
Jakarta,
13 Juli 2019 ( Diolah dan dikutip dari
berbagai sumber media mainstream dan online )
Anda baru saja membaca berita yang berkategori OPINI
dengan judul “MAKNA SIMBOLIK DIBALIK PERTEMUAN JOKOWI-PRABOWO”. Link URL: https://fkm-flobamora.blogspot.com/2019/07/makna-simbolik-dibalik-pertemuan-jokowi.html. Terima kasih!
Category: OPINI